Bersiap Menjadi Kakak
"Mencintai anak tidaklah cukup, yang terpenting adalah anak-anak menyadari bahwa mereka dicintai orangtuanya"
Begitulah kata John Bosco yang selalu ada dalam ingatan saya. Mengingat saya akan segera memiliki anak lagi, saya mengkhawatirkan kesiapan si sulung dalam penerimaannya pada calon adik bayinya. Tentu saja saya harus mempersiapkan mental dan kesadaran si sulung dengan menjalin komunikasi dan melibatkannya dalam berbagai hal.
Setelah Saya dinyatakan hamil anak kedua, saya mengatakan kepada si sulung,"Nak, di perut bunda ada adik bayi yang masih keciiiil banget." Hal ini kusampaikan padanya di suatu malam menjelang tidur sambil kupeluk tubuh mungilnya. Sulungku tak memberikan respon apapun, ia hanya terdiam di dalam dekapanku. Mungkin ia sedang berpikir atau belum mengerti apa yang saya katakan. Saya tetap mencoba memberikan penjelasan lanjutan dan mengatakan padanya bahwa di dalam perut bundanya ada kehidupan seorang bayi yang kelak akan menjadi adiknya dan bisa menjadi teman bermainnya. Seketika itu, si sulung menatapku sambil tersenyum dan menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.
"Mengapa adik bayi bisa ada dalam perut Ibu? Kapan adik bayi akan lahir? Adiknya laki-laki atau perempuan? Apakah adik bayi bisa bermain masak-masakan seperti aku?" Dan masih banyak lagi yang ia tanyakan. Dalam masa proses kehamilan, si sulung selalu saya sertakan dalam berbagai kegiatan bersama adik bayi di dalam perut. Seperti membacakan cerita, membacakan ayat-ayat Al-qur'an, dan bernyanyi. Bahkan di setiap kondisi fisik yang sering lemas dan mual, saya selalu menyampaikan padanya bahwa sakit bundanya bukan dikarenakan penyakit, tetapi karena adanya bayi di dalam perut bunda sebagai hadiah dari Allah. Saya pun tak lupa mengatakan padanya bahwa dahulu ia juga pernah berada di dalam perut bunda seperti adiknya dan bunda juga mengalami mual, muntah dan lemas. Meskipun bunda harus mengalami hal demikian, tetapi bunda selalu bersabar, sehingga calon kakak pun juga harus bersabar saat bundanya lagi mengalami morning sickness.
Hal-hal sederhana yang sampaikan itu ternyata membuahkan hasil yang sangat manis. Si sulung yang akan menjadi kakak itu, menjadi sangat perhatian pada saya. Ia sering mengelus perut, membantu melepaskan kaos kaki, dan mengambilkan air minum saat saya sudah mulai mual dan muntah.
Saya dan suami juga membawa si sulung saat jadwal periksa ke bidan dan dokter kandungan. Saat bidan memeriksa detak jantung bayi yang ada di dalam perut bunda, ia tampak sangat antusias dan berkata kepada bu bidan," itu suara apa? Apa adik bayi nya sudah bisa ngomong?" Atau pada saat jadwal USG di dokter kandungan, si sulung juga turut masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Tentu saja sudah dengan izin dan persetujuan dokter yang memeriksa saya. Jadwal USG adalah hari yang paling dinanti oleh si sulung. Ia seringkali spontan melambaikan tangannya saat tampak gambaran adik bayinya di layar monitor dan mengucapkan salam. Bahkan berkali-kali ia mengajak berdialog dokter yang memeriksa saya,"Adik bayinya sedang apa? Sudah bisa apa dia? Kapan adikku lahir? Mengapa adik bayinya diam saja?" Tentu saja rentetan pertanyaannya itu membuat perawat dan dokter menjadi tertawa.
Yang tak kalah menarik adalah saat saya mempelajari perkembangan bayi di dalam perut melalui buku bacaan, si sulung juga ikut terlibat. Ia menunjuk berbagai gambar tentang kondisi bayi di dalam perut. Hal ini juga menjadi bahan diskusi yang sangat menarik dan tak ada habisnya antara saya dan anak sulung saya. Setelah ia mengetahui bahwa adik bayi di dalam perut bisa mendengar suara dan merasakan hati bundanya, si sulung menjadi sangat rajin menyapa dan menyanyikan lagu dengan mulut didekatkan ke perut saya. Saat usia kehamilan saya memasuki usia sembilan bulan dan saya sering merasakan kontraksi semu, si sulung menghiburku dan memintaku bersabar. Tak jarang ia juga memijat kakiku yang sudah membengkak.
Tiba masanya di mana saya harus melahirkan adik bayi setelah sembilan bulan berlalu. Saya dan suami bersepakat untuk tidak membawa serta si sulung saat proses persalinan. Karena khawatir rasa sakit yang saya rasakan akan mengakibatkan ketakutan padanya. Akhirnya kami memutuskan untuk menitipkan si sulung pada kakak perempuan saya. Hal yang paling membuat kami terharu adalah saat si sulung menghampiri saya setelah proses kelahiran selesai. Ia membawa sebutir buah apel yang ia bawa dari rumah budenya. "Ini buat Bunda," ujarnya sambil memeluk dan menciumku. Seolah ia turut merasakan batin ibunda yang berjuang melahirkan adiknya. Alhamdulillah wa syukurillah semua karena kekuatan yang Allah berikan untuk menjalankan amanah sebagai seorang ibu. Dulu hanya satu anak, kini dua anak yang menjadi tanggung jawab dan amanah saya.
Dengan melibatkan si sulung dalam setiap proses masa kehamilan dapat mengedukasi sang calon kakak untuk bisa menerima kehadiran anggota keluarga baru serta menjadi proses pembelajaran dimana sang calon kakak mendapat informasi dan pengetahuan baru tentang adik bayi yang ada di dalam perut . Hal itu juga dapat memupuk rasa kasih sayang antar anggota keluarga terutama antara si sulung dan calon adik bayinya. Dan yang terpenting adalah terciptanya suasana rumah yang penuh kasih sayang dan saling memiliki satu dengan yang lain.
Bagaimana jika si sulung merasakan kecemburuan kepada adik barunya? Kita akan bahas pada tulisan yang berikutnya ya...😍
0 komentar:
Posting Komentar