CERDAS FINANSIAL 15
“Sepiring Nasi”
Sudah beberapa hari anak kecil berusia 4 tahun itu selalu cemberut saat berada di meja makan. Dia tidak mau menyantap makanan yang telah terhidang di hadapannya. Seringkali ia mengatakan bahwa ia tak suka makanan yang sudah susah payah dimasak oleh ibunya.
“ ibu, aku nggak mau makan. Nggak selera.” ujarnya penuh kesal.
“ ini yang ada nak, syukuri makanan ini dan makanlah.” jawab sang ibu yang sama kesalnya.
“ ibu tiap hari ngomongnya bersyukur terus.”
Saya merasa anak ini merasa tidak nyaman ketika ibu dan ayahnya memintanya untuk bersyukur. Saya berusaha mencari tahu apa yang salah dari komunikasi seperti ini. Dan benar saja peristiwa yang tidak hanya satu kali terjadi itu menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman antara anak dan orangtua.
Ada hal yang terlupa dari kami, bahwa kami sering menganggap anak dengan usia empat tahun itu sudah paham dengan konsep syukur. Sehingga kata-kata syukur sering terungkap supaya si anak mau menerima keadaan yang sebenarnya tidak diinginkannya. Tentu saja pesan yang disampaikan oleh orangtua tidak sampai kepadanya dan cenderung menjadi sebuah pemaksaan baginya.
Sebenarnya bagaimana kita harus memaknai rasa syukur itu? Saya kembali bertanya kepada diri sendiri dan mencoba mendiskusikannya dengan ayah. Bahwa sebenarnya syukur itu merupakan sebuah ungkapan baik dan positif yang didasari perasaan bahagia dan rasa terimakasih. Perasaan syukur ini harusnya terungkap secara otomatis dan spontan saat dihadapkan dengan suatu keadaan, situasi dan peristiwa yang sangat diharapkan dan dirasakan memberi manfaat. Namun, karena salah penyampaian dan cara memberi pemahaman kepada anak, ungkapan positif ini justeru menjadi sebaliknya.
Bukankah setiap orang tua sangat menginginkan memiliki anak yang pandai bersyukur? Namun kita terlalu sering lupa memikirkan bagaimana caranya dan justru lebih sering meminta anak melakukannya. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan saat kita meminta anak untuk bersyukur? Orang Tua seharusnya memberi banyak pengalaman yang membuat anak spontan memiliki rasa syukur.
Saya menginginkan anak saya mensyukuri makanan yang dihidangkan di hadapannya, tidak membuang nasi dan mau menghabiskan makanannya. Sehingga keinginan ini membawa saya untuk melakukan hal lain yang lebih dapat dipahami oleh anak. Saya mengajak anak saya keliling dusun untuk melihat aktivitas para penduduk di sini yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan pekebun.
Saya ajak kakak Aqila melihat tanaman padi di sawah. Ku ceritakan bagaimana para petani itu menanam padi, merawat dan menjaganya supaya dapat berbuah dengan baik. Perjuangan petani yang tak hanya ingin memperoleh makanan tapi juga uang supaya dapat membeli berbagai keperluan hidup lainnya. Tentu saja orang hidup tak hanya butuh makan saja. Mereka juga memerlukan tempat tinggal, pakaian dan membayar sekolah anak-anaknya. Dengan kegiatan ini Kakak Aqila tak menunjukkan reaksi apa-apa kecuali ia memahami sebuah profesi seorang petani dan apa saja yang dilakukan melalui ungkapan-ungkapan sederhana.
Selanjutnya saya ajak ia melihat pakde dan bude nya yang sedang menjemur padi yang sudah dipanen. Ia mengatakan,
“ bu kasian mereka harus jemur gabah ya bu? Harus diangkat-angkat dulu. Kan berat ya bu?”
“ ya begitulah kak, namanya juga petani. Biar kering gabahnya ya dijemur.”
“ kemarin hujan lho bu, mereka buru-buru sekali menutup gabahnya biar nggak kehujanan.”
“Iya nak, kalau hujan lebih repot lagi. Dan tentunya itu melelahkan.”
Keesokan harinya kami berkeliling dusun lagi dan melihat beberapa tetangga menggiling gabahnya dengan mesin penggiling gabah yang biasa berkeliling kampung. Kakak Aqila melihat profesi seorang penggiling gabah keliling dan melihat upah yang didapat orang itu.
“ ibu, kenapa orangnya tidak dapat uang bu?”
“ iya nak, kebanyakan penggiling gabah tidak menerima uang sebagai upahnya. Tapi mereka dapat upah dengan beras. Beras itu nanti akan dijual dan penggiling gabah akan dapat uang yang lebih banyak.”
“ oh...gitu ya bu. Jadi yang giling gabah dapat beras. Bisa langsung dimasak atau dijual ya bu?”
“ iya..betul sekali. Kita juga kan makan nasi to kak?” tanyaku memancingnya.
“ iya bu…”
“ sayang banget ya, kakak sering nggak habis makannya atau malah sering nggak mau makan. Padahal susah banget kak biar bisa dapat nasi.”
“ iya ya bu, kasian mereka harus tanam padi, menyemprot, jemur dulu, cari tukang giling.hhhh lamanya….”
“ nah...maka dari itu, kakak harus habiskan ya makannya.”
“ kan kita bisa beli bu.” ujarnya lagi.
“ ya memang si kak, tapi kita bisa beli kan harus ada uang. Nah...yang didapat dari kerja keras kak, lelah. Kayak tukang giling itu. Walaupun ayahmu bukan tukang giling capeknya sama lho kak. Namanya juga cari uang.” jawabku menjelaskan.
“ kasihan ayah kerja ya bu..dia juga pasti capek.”
“ iya sayang, maka ayah pasti senang kalau kakak makannya lahap dan habis. Selain itu kita juga harus berhemat ya kak.” lanjutku.
Sedikit demi sedikit kakak Aqila dapat memahami betapa panjang proses nasi hingga bisa ke atas meja makan. Hari ini, saya melihat dia bersemangat sarapan dan berusaha menghabiskan sepiring nasi yang ada di hadapannya. Inilah yang dikatakan oleh para ahli tentang hidden movement yaitu sebuah proses yang tidak terlihat. Jika anak memahami hidden movement, ia akan menjadi anak yang pandai bersyukur karena ia paham prose panjang di balik kehadiran suatu benda.
Apa yang dipikirkan anak tentu saja berbeda dengan orang tua. Karena pengalaman yang dialaminya juga berbeda. Maka untuk menanamkan sikap positif kepada anak apalagi anak usia dini, tak cukup hanya dengan nasihat. Tapi juga pengalaman secara langsung.
#IbuProfesional
#BundaSayang
#Level8
#Tantangan10Hari
0 komentar:
Posting Komentar