Orang Tua Penjajah dan Manipulator
Sebenarnya tak ada satupun orang tua di atas muka bumi ini yang mengharapkan keburukan bagi anak-anaknya. Kecuali, pada beberapa kasus yang ekstrim seperti pembunuhan pada anak, penganiayaan, menjual anak, dan lain sebagainya.
Namun, tanpa sadar selama ini barangkali kita telah menjadi orangtua penjajah dan melakukan manipulasi. Karena cara itu dianggap paling jitu dan praktis dalam mengatasi "kenakalan" anak. Memangnya ada orangtua yang berperan sebagai penjajah dan manipulator? Menjajah dan memanipulasi sang buah hati dengan memanfaatkan kepolosan dan keluguan anak-anak saat telah kehabisan cara dalam menghadapi kreativitas mereka.
Seperti kisah seorang ibu yang anaknya tak kunjung bisa berjalan di usia satu tahunnya berikut ini. Si anak yang dianggap terlambat berjalan itu begitu lincah merangkak ke seluruh bagian rumah. Setiap kamar dijelajahinya satu per satu dengan sangat gesit. Tentu saja hal ini sangat melelahkan bagi sang ibu, karena harus bolak balik mengangkatnya dari tempat yang dianggap berbahaya. Lengah sedikit saja, si anak sudah sampai ke mana-mana. Ke dapur menghampiri kotak sampah dan menghamburkan semuanya. Atau dia akan mendekati tabung gas LPG dan merambatinya. Tangannya yang mungil sangat terampil menggoyang-goyangkan selang tabung gas.
Pada suatu malam, saat sang ibu dan suaminya sedang menonton TV, si anak menyelinap ke ruang lain yang gelap. Jiwa petualangnya sangat luarbiasa, namun orangtua harus ekstra waspada. Ibu dan suaminya yang kelelahan karena seharian bekerja, memilih cara praktis untuk mengendalikan jiwa petualang anaknya dengan cara menakut-nakuti. " Hiiii!!! Gelap!! Gelap!! Awas ada hantu," atau " Hi! Jijik...awas lho ada tikus! Takuuuuut!" Mungkin juga," jijik nak...jorok ah, kotor itu," dan masih banyak lagi kata-kata serupa.
Yang paling fatal itu adalah, sebenarnya tidak ada hantu, tidak ada tikus di dapur. Kan bohong jadinya. Niat awal hanyalah supaya si anak kehilangan minat untuk berkelana dan bermain hanya di dekat orang tuanya saja sehingga mudah bagi orangtua untuk mengawasinya sambil bersantai.
Ada lagi seorang ibu yang sangat tidak menyukai kucing. Memiliki anak sulung yang lagi senang-senangnya dengan binatang. Setiap ada kucing yang masuk ke rumahnya, si anak pasti langsung mengusap-usap kepalanya lalu menggendongnya. Sontak saja sang ibu memberi peringatan," Awas! Jangan dipegang kucingnya. Nanti kamu digigit lho! Kalau kamu dicakar juga gimana?" Ujar sang ibu berulang kali. Karena sang ibu sangat geli melihat kucing. Dan menurutnya, kucing itu bulunya mudah rontok dan hidungnya yang basah itu menjijikan. Rupanya cara ini sangat efektif untuk membuat anaknya tidak lagi menyentuh dan menggendong kucing. Padahal sang ibu mengetahui bahwa kucing itu tidak akan menggigit dan mencakar apabila diperlakukan dengan baik. Nah keegoisan sang ibu ini justru memangkas fitrah belajar anak. Rasa ingin tahunya tidak tersalurkan. Sehingga, aktor utama yang mematahkan potensi intelegensi anak adalah ibunya sendiri. Padahal kan, siapa tahu jika anaknya menyukai binatang adalah tanda bahwa si anak memiliki kecerdasan naturalis.
Hal yang serupa juga saya lihat dari tetangga saya yang sangat protektif dengan anak semata wayangnya. Pernah suatu ketika, si anak bermain di tanah rerumputan. Si anak bermain bola dan sepeda kecilnya. Tapi, setelah bosan dengan sepeda dan bolanya, si anak masuk ke dalam semak-semak. Mungkin maksudnya ia sedang bersembunyi atau sedang mencari sesuatu. Sang ibu yang melihatnya seketika berteriak,"Kok masuk-masuk situ sih, awas ada ulat lho! Nanti digigit ulat! Badanmu bisa gatal kalau digigit ulat!" Seru sang ibu menakuti. Ternyata apa yang dikhawatirkan sang ibu benar terjadi. Tubuh si anak menjadi bentol-bentol dan gatal.
"Kan Ibu sudah bilang, jangan main guling-guling di rumput, jangan ke pohon-pohon. Di sana banyak ulat." Sejak saat itu, setiap kali si anak bermain di tanah rumput, ia tak lagi berani menyuruk-nyuruk di pepohonan dan semak-semak. Tak hanya sampai di situ, jika si anak merengek atau menangis, maka jurus paling jitu sang ibu adalah menakuti anaknya dengan kehadiran seorang bakul sayuran yang sering lewat depan rumahnya. Tak ada yang aneh sebenarnya dengan bakul sayuran itu, hanya saja orangnya berkulit hitam dan suka menggoda anak-anak. Ditambah dengan penampilannya yang nyentrik. Ia selalu mengenakan kupluk penutup kepala rajutan dan berpakaian compang camping. Ia sering lewat dengan motor gerandong nya yang terdapat obrok tempat menyusun sayuran di belakangnya.
"Hayo kalau nangis terus nanti Ibu bilangin Om Yun! Biar dibawa naik obrok pakai motor gerandongnya. Masih mau rewel nggak? Masih mau nakal nggak?"
Oh...apalah sebenarnya salah bakul sayuran itu. Sampai-sampai ia menjadi kambing hitam untuk mengatasi si anak yang sedang merengek. Jika mendengar ancaman itu, si anak dijamin langsung tunduk dan menghentikan tangisnya. Jadi kalau si anak berulah, merajuk dan menangis yang tak kunjung reda, tinggal bilang saja," Hayo! Panggilkan Om Yun ya! Mau diam nggak!" Bisa dipastikan si anak pasti langsung terdiam.
Maka tiap kali Om Yun datang, bencana lah bagi si anak. Ia langsung lari terbirit-birit mencari persembunyian. Bahkan tak jarang si anak ketakutan hingga bersembunyi di kolong tempat tidur. Sementara itu, sang ibu justru tertawa menikmati kemenangan sesaat atas anaknya. Untuk hal ini, saya katakan sang ibu terlalu kejam. Membuat anaknya takut pada manusia yang tak bersalah. Cara yang seperti ini dapat merusak mentalitas si anak. Sehingga si anak tak dapat mengelola emosinya dengan baik yang berujung pada hilangnya potensi kecerdasan emosional si anak.
Hati-hati ya Moms, dalam jangka panjang, sikap orang tua yang demikian termasuk dalam kategori korupsi potensi intelegensi anak.
0 komentar:
Posting Komentar