Rabu, 09 Oktober 2019

EVI GHOZALY : MENDIDIK DENGAN CINTA


Seminar pendidikan yang digelar oleh Yayasan Azzahra Way Jepara Lampung Timur menghadirkan seorang pemateri yang energik, smart dan penuh inspirasi. Ia adalah Umy Evi ghozaly. Ini adalah seminar Umy yang saya ikuti untuk kedua kalinya. Seminar yang diselenggarakan di Balai Desa Labtu Way Jepara Pada Ahad, 6 Oktober 2019 ini, sukses menyedot perhatian seluruh audience dari berbagai kalangan diantaranya orang tua, guru, dan pengurus pondok pesantren.

Rencana mengikuti seminar ini sudah jauh-jauh hari saya persiapkan termasuk mengkondisikan rumah dan anak-anak. Antusias untuk segera bertemu Umy Evi Ghozaly itu memicu munculnya kekuatan diri untuk dapat menyelesaikan semua pekerjaan dan tanggung jawab dengan baik dan tepat waktu. Alhamdulillah, ikhtiar bertolabul ilmi ini sangat didukung oleh suami, sehingga semua terasa ringan dikerjakan.

Tahukah anda? Di seminar Umy yang pertama di tahun 2015, saya pernah merasakan sesak yang begitu dalam saat Umy mengawali materinya dengan kalimat tanya seperti ini,

" Siapa yang sebulan ini tidak memarahi dan membentak anak di rumah?"

" Siapa yang seminggu tidak Memarahi dan membentak anak di rumah?"

" Siapa yang pagi tadi membentak dan memarahi anak di rumah?"

Glek..saya tercekat dan bergumam, apa maksud dibalik pertanyaan Umy ini? Tentu saja saya tidak sukses dalam seminggu apalagi sebulan untuk menahan diri tidak memarahi anak. Entah berapa kali..😭

Pertama kalinya ketemu Umy Evi Ghazaly

Dari umy lah saya mengetahui bahwa sebenarnya marah-marah dan membentak tidak akan bisa  mengubah kebiasaan anak. Si anak justru akan mengulang kesalahan yang sama selama tidak mendapat fondasi pemahaman yang jelas dan tegas mengapa sikapnya tergolong kesalahan yang mesti diperbaiki.

Dari beliaulah saya juga terinspirasi untuk berbagi dengan orang lain. Terutama di bidang parenting. Saya belajar dan terus belajar melalui berbagai media dan kuliah online khusus parenting untuk memperoleh ilmu lebih banyak lagi. Karena saya tahu, saya begitu kekurangan ilmu dan haus ilmu pengasuhan terhadap anak. Bahkan, jika waktu bisa terulang kembali dan saya mendapatkan kesempatan kedua untuk kuliah lagi, maka saya tidak akan mengambil jurusan pendidikan Fisika namun barangkali saya akan mengambil ilmu psikologi atau sejenisnya yang dapat membantu saya dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anak saya. Semua upaya itu saya lakukan dan saya bukukan dalam sebuah buku karya perdana saya yang berjudul Perubahan Orangtua Perubahan Anak.

Buku perdana Saya😄
Keren banget isinya, karya Umy Evi Ghozaly
Alhamdulillah dapat tandatangan langsung dari penu

Upaya itu pun Saya lakukan dengan terus mengikuti setiap postingan Umy di FB, yang tulisannya itu isinya daging semua. Rasanya saya sudah tidak sabar lagi bertemu dengan Umy walau hanya untuk dapat sekedar menyalami dan mencium tangannya. Semoga, ilmu yang Umy bagikan menjadi amal jariyah baginya dan bernilai ibadah di sisi Allah Ta'ala. Aamiin.

Kesempatan itu pun akhirnya tiba juga. Saya tak mampu membendung lagi butiran bening dari pelupuk mata. Jatuh dengan sendirinya penuh ikhlas dan bahagia. Sapaan lembut dan senyum hangat beliau itu sangat meneduhkan. Beruntung sekali Saya dapat mencium tangannya dan  airmata yang meleleh diusapnya hingga berulang kali. Duh Gusti...bahagia itu benar-benar sederhana, saat bertemu dengan guru dan mendapat doa-doanya yang melangit.

Terlebih lagi saat beliau menyapa nama penaku di atas panggung dan memintaku melambaikan tangan. Tentu saja ini adalah sebuah kehormatan bagiku karena diakui sebagai sahabat beliau di dunia maya. Beliau tampil dengan sangat anggun dan elegan. Materi yang beliau sampaikan tak jauh-jauh dari kehidupan sehari-hari yang dikemas begitu apik dan menyenangkan. Bahkan sesekali beliau mengajak peserta seminar untuk melakukan brain gym dan ice breaking yang memunculkan aura bahagia dari setiap peserta. Meskipun saya telah mengikuti materi ini untuk kedua kalinya, rasanya tak bosan-bosan saya menyimaknya. Justru kondisi saya seperti sedang di charge semangatnya oleh beliau.

Berburu foto dan tandatangan Umy😅

Seperti biasa, beliau memulai seminar ini dengan menampilkan video yang menggambarkan kondisi generasi muda saat ini yang sangat memprihatinkan dari tawuran, merokok, miras, narkoba dan pergaulan bebas sebagai wujud dari hilangnya cinta dari diri para remaja itu. Anak-anak yang jauh dan haus akan kasih sayang serta perhatian memilih jalan yang keliru manakala orangtua sebagai pemeran utama pendidik mereka tak memperdulikan apa -apa yang menjadi fitrah mereka. Anak-anak yang menjadi pelaku bullying justru mereka yang kerap mendapatkan perlakuan bully oleh orangtuanya di rumah. Karena tanpa sadar, orang tua sering memberikan label negatif kepada anak-anak mereka terhadap perilaku mereka yang dianggap salah. Bukankah kita sering mendengar orang tua yang mengatakan anaknya malas, lelet, bodoh, jelek dan lain-lain? Ya itulah bullying yang terjadi di rumah. Jadi kasus bullying ini terjadi dari hal yang kita anggap biasa saja rupanya, namun berdampak besar bagi kehidupan anak. Karena bullying itu ibarat paku yang ditancapkan pada kayu, menciptakan lubang luka meskipun telah tercabut sakit luka itu masih terasa. Dan..prihatinnya pelaku bullying yang sebenarnya justru diawali oleh orangtua itu sendiri.

Umy Evi Ghozaly juga menyampaikan berbagai pengalamannya saat berkunjung ke beberapa daerah di Lampung. Beliau bertemu dengan anak-anak yang terjerumus pada miras, narkoba dan pergaulan bebas. Namun, beliau sama sekali tidak menghakimi dan mengancam anak-anak itu dengan dosa dan neraka. Karena Umy yakin bahwa sebenarnya anak-anak itu tau apa yang mereka lakukan itu melanggar norma agama, susila dan sosial. Beliau justru mengatakan bahwa anak-anak itu sebenarnya baik, namun situasi dan kondisi mereka itu yang tidak berpihak kepada mereka. Mereka melakukan itu hanya karena tidak ada tempat untuk mengadu, mencurahkan perasaannya, bahkan mereka tidak punya tempat untuk berbagi dengan seseorang yang mau mengerti dan peduli dengan keadaan mereka. Umy Evi Ghozaly mengatakan bahwa  anak-anak itu membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Mereka butuh pendampingan yang tepat dari orangtua, guru dan teman-temannya dari perilaku yang negatif itu.

Dari pengalaman luar biasa itu Umy Evi Ghozaly menyampaikan kepada kami bahwa mendidik dengan cinta adalah cara yang efektif dalam mengungkap permasalahan sehingga kita dapat lebih jelas dan dalam mencari jalan keluar untuk perbaikan. Karena ketika anak-anak kita telah terpenuhi hak dan kebutuhan emosional dan spiritualnya, mereka akan tumbuh menjadi anak yang baik dan hebat.

Lalu bagaimana mendidik dengan cinta itu? Umy memberikan jawabannya kepada kami semua melalui beberapa point. Yang pertama, dengan doa. Orang Tua wajib mendoakan yang terbaik bagi anak-anaknya. Karena doa adalah bentuk kepasrahan yang totalitas kepada Allah Ta'ala. Selangkah saja anak kita keluar dari rumah, kita sudah tidak tau apa yang akan terjadi kepada mereka. Maka tentu saja kita harus memohon kepada Allah yang Maha menjaga dan melindungi melalui doa. Karena doa jugalah yang dapat mengubah semua kondisi. Yang kedua, hindari kekerasan baik fisik maupun verbal. Kekerasan dan sikap marah -marah tak akan mengubah apapun pada diri anak. Mereka justru cenderung akan melakukan kesalahan yang sama. Perilaku ini dapat menimbulkan sakit hati anak dan menjadi pendendam. Sakit hati dan dendam anak yang tersimpan akan berakibat buruk di masa dewasa anak kelak. Yang ketiga, Jadilah teladan bagi anak. Hal ini penting dilakukan di dalam keluarga. Ayah dan ibu harus menunjukkan dan melakukan apa yang diajarkan. Jadi bukan asal perintah saja, karena apabila orangtua tidak melakukan apa yang mereka ajarkan kepada anak, hal ini dapat menimbulkan konflik batin pada  diri anak. Keteladanan ini juga sebagai cara bagi orangtua untuk disiplin dan konsisten dengan ucapannya.

Itulah kiat-kiat mendidik anak dengan cinta dari Umy Evi Ghozaly yang tentunya menjadi ilmu yang sangat bermanfaat bagi para orangtua dan calon orang tua. Di akhir seminar, Umy memimpin langsung doa sebagai penutup berakhirnya materi dari beliau. Suara beliau yang dalam dengan lantunan doa-doa yang sarat makna, kami dibawa pada sebuah perenungan diri. Betapa masih banyak kekurangan kami dalam menjalankan peran kami sebagai hamba Allah, sebagai seorang istri dan sebagai ibu bagi anak-anak kami. Seluruh ruangan hening dan hanya isak tangis para peserta yang begitu khusyuk meresapi doa-doa. Ah, betapa ini bukan hanya sekedar tholabul ilmi tapi juga peningkatan ruhiyah sebagai spirit untuk melakukan perbaikan diri menjadi lebih baik.

Asyik saja lihat Umy lagi foto😄

Terimakasih Umy Evi Ghozaly atas tanda tangan dan sholawat nya. Semoga menjadi keberkahan untuk kita semua. Hal yang paling kuingat adalah "Hanya orang yang bahagia yang dapat membahagiakan orang lain." Demikian motivasi yang Umy berikan dan saya masih terus berjuang untuk itu. Bukan berarti saya tak bahagia, tapi lebih tepatnya tidak tahu di mana letak kebahagiaan yang sesungguhnya. Sejak saya membaca buku umy dan beberapa postingan umy tentang kasus bullying, saya merasakan sesak bernafas dan hatiku berlubang. Hampir seluruh tahapan kehidupanku diwarnai dengan aksi bullying. Baik dari keluarga maupun dari sekolah. Namun benar kata Umy bahwa, saat ini kita telah dewasa dan dapat menentukan pilihan hidup. Yang dulu biarlah berlalu dan maafkan. Ya...saya telah memaafkan semuanya dan tak lagi ada rasa benci untuk mereka yang pernah membully. Apalagi orang tua, tentunya kondisi ekonomi yang sulit, tingkat pendidikan yang rendah menjadi alasan terkuat untuk dimaklumi pola asuh yang mereka berikan. Namun, bullying yang terjadi di setiap jenjang pendidikan ku berdampak negatif bagi diri saya dan selalu saja tak dapat saya mengatasinya dengan baik hingga saat ini.

Di saat saya duduk di bangku SD kelas 3,  guru saya mengajarkan perkalian dengan cara menghafalkannya dari bilangan 1 hingga 100 tanpa diberikan cara bagaimana dapat memahami dasar konsep perkalian itu sendiri. Saya yang lemah menghafal tentu saja menjadi siswa paling bodoh saat itu. Dan berdiri di pinggir pintu kelas hingga pelajaran usai. Saat pulang pun aku selalu menjadi siswa yang paling terakhir pulang karena tak dapat menjawab pertanyaan perkalian dengan benar. Namun anehnya, saya mengambil jurusan fisika dan menjadi guru fisika yang mana matematika menjadi alat bantu utama dalam menafsirkan semua gejala alam yang dipelajari dari ilmu fisika. Saya juga begitu trauma dengan angka 4 dalam lingkaran merah. Itu sangat menyakitkan bagiku. Nilai ulangan yang dibuat oleh guru menggunakan tinta merah benar-benar membuatku takut apalagi jika harus mengembalikan kertas ulangan dengan disertai tanda tangan orang tua. Sempat saya merasa begitu benci dengan warna merah. Namun anehnya, saat kuliah saya justru masuk dalam organisasi kemahasiswaan yang benderanya berwarna merah. Di bangku SMA, saya pun pernah mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan. Saat ulangan harian kimia, lembar jawabanku dirobek-robek oleh guru hanya karena aku tampak berbicara dengan temanku. Padahal waktu itu, yang hendak menyontek adalah temanku. Di saat temanku selesai bertanya, giliran saya berbicara sambil berbisik bahwa saya pun belum mengerjakan soal di nomor yang ia tanyakan. Namun, dari sudut pandang sang guru, saya yang berbicara dan menjadi pelaku nyontek itu. Belum lagi bullying terhadap kondisi fisik dan keluargaku serta fasilitas yang kugunakan untuk berangkat menuntut ilmu, menjadi sasaran dan bahan yang empuk untuk dibully.

Peristiwa yang kualami itu, sering membuatku merasa tak berharga, tidak memiliki kepercayaan diri yang baik bahkan pengalaman buruk di bangku sekolah menjadikan aku pribadi yang demam dengan segala bentuk tes. Aku lebih suka performance untuk menunjukkan kemampuanku daripada dalam bentuk tes. Karena aku bisa leluasa mengekspresikan diri dan bebas berargumentasi. Ketidakmampuanku mengatasi demam tes ini berakibat buruk pada karir saya di dunia kerja. Tentu saja bisa terbaca apa hasilnya. Sedikit aneh tapi memang itu yang terjadi. Meskipun begitu, setiap peristiwa bullying yang saya alami, saya jadikan pelajaran yang sangat berharga. Bahwa dengan dikucilkannya saya, saya dapat belajar untuk bertahan, merasakan pahit dan getirnya hidup. Saya menjadi tahu bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan. Namun sayangnya, dampak negatif nya belum juga dapat teratasi hingga saat ini. Saya begitu takut dengan kegagalan, takut dengan segala kesulitan hidup.

Dari pengalaman hidup ini, menjadi spirit yang kuat bagi saya untuk melakukan perubahan. Memutus mata rantai inner child dengan terus belajar menata diri, hati dan kondisi spiritual supaya saya dapat memiliki pola asuh yang baik bagi anak-anak saya dan berjuang untuk bahagia supaya bisa membahagiakan mereka.

#ALIRAN RASA~MendidikDenganCinta


Bersama Aqila dan Adzkiyya, temenin bunda ya...



0 komentar:

Posting Komentar

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

ANDROID SOURCE CODES MURAH

ADVERTISEMENT

IKUTI KAMI

Total Pageviews

Popular Posts

ADVERTISEMENT

Aqila Nyanyi - Naik Delman

IKUTI FANSPAGE KAMI

Unordered List

Text Widget